Narasumber: Gloria Beatrix – Relawan Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman” UNPAR
Perkembangan zaman menyebabkan berkembangnya teknologi dan informasi. Dengan adanya teknologi, segala sesuatu dapat diperoleh secara instan. Hal ini terlihat dengan banyaknya aplikasi-aplikasi yang menyediakan berbagai kebutuhan sehingga semua orang tidak perlu untuk pergi ke suatu tempat, melainkan cukup untuk membeli secara dalam jaringan (online).
Pada tahun 2020, dunia dilanda dengan pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) yang menyebabkan aktivitas semua orang di luar rumah harus dibatasi.[1] Oleh karena itu, banyak orang yang membeli kebutuhan sehari-hari maupun barang yang diinginkannya secara online. Dengan begitu, maka kegiatan jual beli secara online ini semakin sering dilakukan. Namun, dengan adanya kegiatan jual beli yang dilakukan secara online mengundang jenis kejahatan yang baru yaitu penipuan online.
Penipuan online merupakan salah satu tindakan kejahatan yang paling banyak dilaporkan. Hal ini dibuktikan dengan adanya data dari databoks yang menunjukkan bahwa sejak tahun 2016 hingga tahun 2020 terdapat 7.047 (tujuh ribu empat puluh tujuh) kasus penipuan online yang dilaporkan.[2] Oleh karena itu, jika dirata-rata setiap tahunnya, maka terdapat 1.409 (seribu empat ratus sembilan) kasus penipuan online. Maraknya penipuan online menyebabkan pentingnya edukasi terhadap masyarakat agar dapat mencegah dan mengetahui cara yang dapat dilakukan ketika menjadi korban dari peristiwa ini. Selain itu juga, penting bagi masyarakat untuk mengetahui sanksi pidana atas tindak pidana penipuan online.
Penipuan secara online pada dasarnya sama dengan penipuan konvensional yang diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP). Perbedaan mendasar dalam penipuan konvensional dan penipuan secara online terdapat pada sarana perbuatannya. Hal ini disebabkan karena penipuan konvensional adalah jenis penipuan yang pada umumnya terjadi dan diperuntukkan pada semua hal yang terjadi dalam dunia nyata, bukan pada dunia maya.[3] Oleh karena itu, pada penipuan secara online, sarana perbuatannya menggunakan sistem elektronik dengan melalui komputer, internet, dan perangkat telekomunikasi.[4] Terlepas dari perbedaannya, penipuan online ini juga memiliki bentuk yang bermacam-sama seperti penipuan konvensional pada umumnya.
Salah satu bentuk penipuan online yang sering terjadi adalah penipuan jual beli online. Penipuan jual beli online ini biasanya terjadi ketika dilakukan jual beli di situs online. Korbannya tidak hanya pembeli, tetapi penjual pun mengalaminya. Terdapat 3 (tiga) bentuk penipuan jual beli online yang sering terjadi yaitu:[5]
Berdasarkan penjelasan sebelumnya mengenai bentuk-bentuk penipuan jual beli online, sudah seharusnya masyarakat baik sebagai pembeli maupun penjual melakukan beberapa tindakan pencegahan. Tindakan pencegahan yang pertama adalah bagi pembeli maupun penjual harus terlebih dahulu memastikan identitas dari penjual maupun pembeli. Kedua, untuk pembeli mengutamakan sistem Cash on Delivery (COD).[6] Sistem COD ini adalah suatu metode pembayaran yang dapat dilakukan secara langsung setelah pesanan dari kurir diterima oleh pembeli.[7] Namun, jika tidak memungkinkan dilakukannya COD, maka pembeli disarankan untuk selalu meminta resi jasa pengiriman barang agar dapat melakukan pengecekan terhadap barang yang dipesan. Ketiga, jangan mudah tergiur bagi pembeli untuk membeli barang yang murah karena barang tersebut bisa saja barang bekas atau barang tiruan. Kemudian, bagi penjual diharapkan untuk selalu memastikan mutasi rekening ketika pembeli mengirimkan bukti transfer untuk menghindari bahwa bukti transfer yang dikirimkan adalah palsu. Dalam memastikan rekening tersebut palsu atau tidak terdapat situs yang disediakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Situs tersebut bernama cekrekening.iddan dapat memperlihatkan rekening yang terindikasi dengan tindak pidana penipuan. Caranya adalah dengan mengunjungi laman cekrekening.id kemudian mengisi form nama bank dan nomor rekening yang akan dilaporkan, setelah itu akan dilakukan verifikasi oleh tim cek rekening. Lalu, akan muncul hasil verifikasi mengenai rekening tersebut memang terindikasi melakukan penipuan atau tidak serta riwayat pelaporan.[8]
Dalam hal sudah dilakukan pencegahan tetapi penipuan jual beli online tetap terjadi, maka yang dapat dilakukan oleh korban adalah segera menghubungi pusat panggilan aplikasi uang elektronik yang disediakan oleh E-Commerce seperti Shopee Pay, Ovo, atau lain-lain untuk melakukan pembatalan pembayaran. Selain itu juga, bisa menghubungi mobile banking (m-banking) terkait sehingga dapat meminta bank untuk memblokir rekening dan segera mendatangi gerai bank untuk mendapatkan solusi lebih lanjut. Kemudian, laporkan juga kepada pihak yang berwenang untuk melengkapi pelaporan dan penyelidikan lebih lanjut. Pelaporan ini dapat dilakukan kepada pihak Kepolisian, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan instansi terkait lainnya.[9]
Mengenai sanksi pidana dari tindakan penipuan, telah diatur dalam Pasal 378 KUHP yang menyatakan bahwa:
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan menggunakan nama palsu atau martabat (hoedanigheid) palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Pengertian penipuan secara konvensional yang diatur dalam Pasal 378 KUHP belum mencakup secara komprehensif mengenai penipuan online dalam transaksi elektronik. Oleh karena itu, perlu diketahui mengenai aturan yang secara khusus mengenai transaksi elektronik. Aturan itu adalah Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut sebagai UU ITE).
Dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE dijelaskan mengenai kerugian konsumen dalam transaksi elektronik yaitu:
“Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.”
Kemudian jika dilakukan pelanggaran terhadap Pasal 28 ayat (1) UU ITE maka akan dikenakan ancaman pidana sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 45A ayat (1) UU ITE yaitu:
“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Pasal 378 KUHP dan Pasal 28 ayat (1) UU ITE mengatur hal yang berbeda. Hal ini disebabkan karena pada Pasal 378 KUHP mengatur mengenai penipuan secara konvensional sedangkan pada Pasal 28 ayat (1) UU ITE diatur mengenai berita bohong dan menyesatkan sehingga menyebabkan kerugian terhadap konsumen dalam transaksi elektronik.[10] Walaupun begitu, di antara keduanya terdapat persamaan yaitu menyebabkan kerugian bagi orang lain.[11]
Menurut hemat Penulis, dalam kasus penipuan jual beli online terjadi karena adanya berita bohong dan menyesatkan yang menyebabkan kerugian terhadap konsumen dalam transaksi elektronik sehingga Pasal 28 ayat (1) UU ITE beserta sanksinya yang terdapat dalam Pasal 45A ayat (1) UU ITE dapat diterapkan. Selain itu, dengan melihat ketentuan dalam Pasal 378 KUHP yang belum mengatur secara komprehensif mengenai penipuan jual beli online menyebabkan pasal ini sulit untuk diterapkan. Hal ini sejalan dengan adanya asas Lex Specialis Derogat Legi Generali yang mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum.[12] Oleh karena itu, jika terjadi penipuan jual beli online pasal yang dapat diterapkan adalah Pasal 28 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 45A ayat (1) UU ITE selama unsur-unsurnya terpenuhi.
Berdasarkan pemaparan ini, dapat diketahui bahwa penipuan jual beli online merupakan suatu tindakan yang dapat dikenakan sanksi pidana. Namun, sebenarnya dalam UU ITE ini hanya mengatur jika terjadi adanya berita bohong yang merugikan konsumen, tetapi tidak mengatur jika pihak yang dirugikan adalah penjual. Oleh karena itu, menurut hemat Penulis sebaiknya ditambahkan ketentuan mengenai penjual yang menjadi korban sehingga penjual pun dapat dilindungi. Selain itu juga, dikarenakan penipuan jual beli online ini masih sering terjadi, masyarakat harus lebih berhati-hati dalam melakukan transaksi jual beli online dan menerapkan berbagai tindakan pencegahan agar terhindar dari kejahatan penipuan jual beli online ini.
[1] Anonim, Jejak Pandemi Covid-19, dari Pasar hingga Mengepung Dunia, https://www.cnnindonesia.com/internasional/20210804100935-113-676183/jejak-pandemi-covid-19-dari-pasar-hingga-mengepung-dunia (diakses 20 Januari 2021).
[2] Muhammad Ahsan Ridhoi, Ribuan Penipuan Online Dilaporkan Dalam Lima Tahun Terakhir, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/09/11/ribuan-penipuan-online-dilaporkan-tiap-tahun (diakses 20 Januari 2021).
[3] Rizki Dwi Prasetyo, Artikel Ilmiah: Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Penipuan Online dalam Hukum Pidana Positif di Indonesia (Malang: Sarjana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2014), halaman 7-8.
[4] Satria Nur Fauzi dan Lushiana Primasari, Tindak Pidana Penipuan Dalam Transaksi di Situs Jual Beli Online (E-Commerce), Recidive, Volume 7 – Nomor 3, September-Desember 2018, halaman 251.
[5] Jevlin Solim, dkk, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Penipuan Situs Jual Beli Online di Indonesia, Jurnal Hukum Samudera Keadilan, Volume 1- Nomor 1, Januari-Juni 2019, halaman 103-104.
[6] Semi Iwarti, Skripsi: Modus Penipuan dalam Praktek Jual Beli Online dan Cara Pencegahannya Prespektif Hukum Islam, (Bengkulu: Sarjana Fakultas Hukum Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bengkulu, 2021), halaman 34.
[8] Tashia, Sistem e-Commerce dan Perlindungan Konsumen, https://aptika.kominfo.go.id/2017/06/sistem-e-commerce-dan-perlindungan-konsumen/ (diakses 24 Juni 2021).
[9] Faisal Hafis, Apa yang Harus Dilakukan Jika Jadi Korban Penipuan Online, https://kominfo.go.id/content/detail/27912/apa-yang-harus-dilakukan-jika-jadi-korban-penipuan-online-ini-solusi-kominfo/0/sorotan_media (diakses 20 Januari 2021).
[10] Dimas Hutomo, Cara Menentukan Pasal untuk Menjerat Pelaku Penipuan Online,https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5d1ad428d8fa3/cara-menentukan-pasal-untuk-menjerat-pelaku-penipuan-online/#:~:text=Setiap%20Orang%20yang%20dengan%20sengaja,.000.000%2C00%20(satu%20miliar (diakses 24 Juni 2021).
[12] Letezia Tobing, Mengenai Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt509fb7e13bd25/lex-spesialis-dan-lex-genralis (diakses 24 Juni 2021).
Kominfo terus melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya judi online.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menyebut pelaku judi online bisa dikenai sanksi sesuai Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), di mana pasal 303 bis KUHP turut mengancam para pemain judi dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau denda pidana paling banyak 10 juta rupiah.
“Penjudi itu bagian dari pelaku, dan menurut KUHP pasal 303 itu menyatakan bahwa judi itu tidak pidana, begitu juga UU No.11 Tahun 2008 tentang ITE di pasal 27, judi online itu pidana, dan termasuk pidana berat, bukan pidana ringan, karena hukumannya judi online itu enam tahun penjara, denda Rp1 miliar,” ujar Muhadjir seperti dikutip Antara, Rabu (19/6).
Pasal 27 ayat 2 UU ITE Bab VII tentang Perbuatan yang Dilarang, menyatakan bahwa “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian”.
Menko PMK juga menegaskan, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan surat keputusan pembentukan Satgas Pemberantasan Perjudian Online yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto, di mana dirinya berkapasitas sebagai Wakil Ketua.
Pembentukan Satgas tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Perjudian Daring yang terbit di Jakarta 14 Juni 2024.
“Yang penting itu sebetulnya pencegahan dan penindakan. Kalau soal korban, itu saya rasa nanti kita lihat, apakah memang ada yang serius atau tidak menjadi korban itu,” ucap Muhadjir..
Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) terus melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya judi online. Salah satu cara yang dilakukan dengan mengirimkan SMS Blast kepada pengguna layanan telekomunikasi seluler di seluruh Indonesia.
Mesti terlebih dulu melakukan kajian mendalam dari sisi yuridis, filosofis, dan sosiologis. Bansos PKH diberikan kepada keluarga yang memiliki setidaknya satu dari lima kriteria. Yakni Ibu hamil, anak usia 0-6 tahun, anak sekolah SD-SMA, lansia 70 tahun ke atas, dan disabilitas berat. Tidak terdapat korban pelaku judi online.
Rencana pemerintah bakal memberikan bantuan sosial (Bansos) terhadap keluarga pelaku judi online menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Pemerintah mestinya memberikan sanksi keras terhadap pelaku judi online serta melakukan kajian mendalam sebelum memutuskan rencana tersebut.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo angkat bicara terkait rencana pemerintah tersebut. Menurutnya pemerintah tak boleh pilih perlakuan terhadap pelaku tindak pidana. Perbuatan judi masuk kategori tindak pidana yang pelakunya dapat dijerat dengan KUHP.
Sementara judi online selain dapat dijerat dengan Pasal 303 KUHP pun juga dapat diancam dengan Pasal 27 ayat (2) UU No. 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik. Pasal 27 ayat (2) menyebutkan, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian”.
“Pelaku judi merupakan tindak pidana,” ujarnya di Komplek Gedung Parlemen, Kamis (20/6/2024).
Dia meminta pemerintah melakukan upaya preventif agar tidak ada celah masyarakat untuk dapat melakukan perbuatan judi online, khususnya dari sisi informasi dan teknologi. Tak hanya itu, komitmen pemerintah dalam memberantas judi online di Indonesia secara menyeluruh amat dinanti.
Setidaknya agar tidak ada lagi korban maupun dampak kerugian materil maupun non-materil yang ditimbulkan. Kemudian mengkaji lebih dalam faktor-faktor yang menyebabkan banyaknya masyarakat yang melakukan judi online, untuk kemudian diberikan langkah tindak lanjut untuk menanganinya.
Mantan Ketua DPR itu pun meminta pemerintah tak terburu-buru dalam menetapkan kebijakan yang terkait dengan wacana pemberian bansos bagi keluarga pelaku judi online. Tapi pemerintah mesti terlebih dahulu melakukan kajian mendalam dari sisi yuridis, filosofis, dan sosiologis, sehingga dapat diketahui apakah wacana tersebut sudah tepat atau belum.
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Menurut hukum Islam, apa sanksi bagi pemain judi dan bagaimana pula hukuman bagi bandar judi? Bagaimana Islam memberantas perjudian apalagi judi online yang hari ini merebak? Terima kasih. (Hamba Allah)
Sanksi Pidana Syariah Bagi Pemain dan Bandar Judi
Sanksi pidana syariah bagi pemain judi dan bandar judi adalah sanksi yang dinamakan ta’zīr. Apa itu ta’zīr? Ta’zīr adalah pidana syariah untuk pelanggaran syariah yang tidak ada nash khusus mengenai jenis sanksi-nya dan tidak ada kaffarah (tebusan)-nya. (‘Abdurrahmān Al-Mālikī, Nizhām Al-‘Uqūbāt, [Beirut : Dârul Ummah], Cetakan II, 1990, hlm. 17-22).
Pelanggaran syariah yang dijatuhi sanksi ta’zīr pada prinsipnya adalah setiap perbuatan pidana atau kriminal (al-jarīmah, criminal act) sesuai standar syariah Islam (Al-Qur`an dan As-Sunnah), namun tidak ada sanksinya secara khusus dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Secara garis besar, yang termasuk perbuatan pidana (al-jarīmah) dalam Islam ada dua; yaitu tarkul fardhi dan irtikābul harām. Tarkul fardhi adalah meninggalkan yang diwajibkan syariah; sedangkan irtikābul harām adalah melakukan yang diharamkan syariah. (‘Abdurrahmān Al-Mālikī, Nizhām Al-‘Uqūbāt, hlm.15).
Contoh tarkul fardhi : (1), meninggalkan sholat wajib; (2) tidak berpuasa Ramadhan; (3) tidak membayar zakat, baik zakat fitrah maupun zakat māl; (4) tidak menutup aurat bagi wanita muslimah dalam kehidupan umum, yaitu mengenakan kerudung (khimār) dan jilbāb (busana gamis longgar terusan); (5) tidak membayar utang, dan sebagainya.
Contoh irtikābul harām : (1) bertransaksi riba; (2) suap menyuap (risywah); (3) memberikan gratifikasi bagi pejabat; (4) berkhalwat (bersepi-sepi) secara berdua antara laki-laki dengan wanita yang bukan mahramnya; (5) melakukan ikhtilāth (campur baur) antara laki-laki dan Wanita non mahram, misalnya ikhtilāth di jalan umum, di kendaraan umum, di sekolah dan kampus, dan ikhtilath di walimah nikah; (6) minum khamr; (7) berzina; (8) LGBT; (9) berjudi (qimār/maysir), dsb.
Lalu sanksi ta’zīr seperti apa yang dapat dijatuhkan oleh Qadhi (hakim syariah) bagi pemain dan bandar judi? Jawabannya, Qadhi (hakim syariah) akan menentukan jenis dan/atau kadar hukuman ta’zīr, dari macam-macam ta’zīr yang telah ditetapkan syariah, yang jumlahnya ada 14 (empat belas) jenis sanksi ta’zīr, sebagaimana yang diuraikan secara rinci oleh Syekh ‘Abdurrahmân Al-Mâlikî dalam kitabnya Nizhām Al-‘Uqūbāt, hlm. 157-175.
Berikut contoh-contoh ta’zīr. Ta’zīr itu dapat berupa : (1) hukuman mati (al-qatl), (2) penyaliban (ash-shalb), tapi penyaliban ini dilakukan setelah terpidana dihukum mati; (3) penjara (al-habs), (4) pengucilan (al-hajr), yakni larangan hakim syariah kepada publik untuk berbicara dengan terpidana, (5) pengasingan (an-nafyu), (6) hukuman cambuk (al-jild) maksimal sepuluh kali cambukan, (7) denda finansial (al-gharāmah), (8) pemusnahan barang bukti kejahatan (itlâful mâl), misalnya pemusnahan narkoba, mesin atau alat perjudian, dsb (9) publikasi pelaku kejahatan (at-tasyhîr) di media massa, (10) nasehat (al-wa’zhu), (11) celaan (al-taubīkh), yaitu merendahkan terpidana dengan ucapan dari hakim (Qadhi), dan sebagainya. (‘Abdurrahmān Al-Mālikī, Nizhām Al-‘Uqūbāt, hlm. 157-175).
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa sanksi pidana syariah bagi bagi pemain dan bandar judi adalah ta’zīr, yaitu satu jenis pidana syariah untuk pelanggaran syariah yang tidak ada nash khusus mengenai jenis sanksi-nya dan tidak ada kaffarah (tebusan)-nya. Qadhi (hakim syariah) adalah pihak yang akan mengadili pemain dan bandar judi dalam mahkamah syariah (sidang peradilan syariah), dan akan menentukan jenis dan/atau kadar hukuman ta’zīr, dari macam-macam ta’zīr yang telah ditetapkan syariah, yang jumlahnya ada 14 (empat belas) jenis sanksi ta’zīr, dan bahkan dapat sampai kepada hukuman mati (al-qatl), misalnya bagi bandar judi online dengan jaringan yang luas dan besar.
Berjudi merupakan aqad batil dan harta yang dihasilkan tidak boleh dimiliki oleh seorang muslim. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādi fī Al-Islām, hlm. 190). Hal ini sesuai larangan berjudi yang tegas oleh Allah SWT dalam QS Al-Ma`idah : 90 :
يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah najis termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah segala najis itu agar kamu beruntung.” (QS Al-Ma`idah : 90).
Syekh ‘Abdurrahmān Al-Mālikī menjelaskan secara khusus jenis sanksi ta’zir yang terkait judi, baik bagi pemain maupun bandar judi, dengan redaksi umum sebagai berikut :
كُلُّ مَنْ مَلَكَ ماَلاً بِعَقْدٍ مِنَ الْعُقُوْدِ الْباَطِلَةِ وَهُوَ يَعْلَمُ، يُعاَقَبُ بِالْجِلْدِ وَالسِّجْنِ حَتىَّ سَنَتَيْنِ
“Setiap orang yang memiliki harta dengan satu akad dari berbagai akad yang batil, sedangkan dia mengetahui, maka dia dihukum dengan hukuman cambuk (maksimal sepuluh kali cambukan) dan dipenjara hingga 2 (dua) tahun.” (‘Abdurrahmān Al-Mālikī, Nizhām Al-‘Uqūbāt, hlm. 99).
Pemberantasan Judi Online
Kami meyakini pemberantasan judi online secara khusus yang merebak saat ini, ataupun pemberantasan judi secara umum, tidak akan pernah tuntas, kecuali dalam sistem hukum Islam yang dijalankan dengan baik oleh seorang Imam (Khalifah) yang memimpin negara Khilafah.
Pemberantasan judi online yang dilaksanakan oleh sistem hukum sekuler sekarang, sebaik apapun pelaksanaannya, kami yakini hanya akan seperti memberantas gejala suatu penyakit, namun tidak akan pernah memberantas sumber penyakitnya itu sendiri, yang sesungguhnya berpangkal secara mendalam pada pandangan hidup sekuler-kapitalisme dari Barat, utamanya paham naf’iyyah (utilitarianisme) dan mut’ah jasadiyah (hedonisme). Kedua paham ini berpangkal pada dasar ideologi Barat, yaitu sekulerisme (fashlud dīn ‘an al-hayāh). (Taqiyuddin An-Nabhani, Nizhām Al-Islām, hlm. 65).
Utilitarianisme adalah paham yang memandang baik buruknya suatu perbuatan itu diukur berdasarkan manfaat yang dihasilkan dari suatu perbuatan. Sedang hedonisme adalah paham yang menganggap bahwa kebahagiaan manusia itu didapatkan dengan memenuhi kesenangan atau kepuasan secara pribadi, khususnya kesenangan yang bersifat jasadiyah (fisik), seperti kepuasan seksual, kepuasan harta, kepuasan jabatan, dsb.
Jika Khilafah berdiri, Khalifah akan memimpin secara langsung pemberantasan segala kemaksiatan dan kejahatan, apa pun bentuknya, termasuk judi. Khalifah akan membentuk sistem hukum Islam yang kokoh, dengan mengokohkan 3 (tiga) unsur yang ada dalam suatu sistem hukum (legal system) (Friedman, 1975); (1) menerapkan Syariah Islam sebagai substansi hukumnya (termasuk sanksi pidana syariah); (2) membentuk struktur APH (aparat penegak hukumnya) Syariah-nya, seperti mengangkat para hakim syaraih (Qadhi), polisi (syurthah), tentara (al-jaisy), dan APH (aparat penegak hukum) lainnya; dan (3) membentuk culture of law (budaya hukum) yang kuat di masyarakat, dengan menumbuhkan budaya amar ma’ruf nahi mungkar di masyarakat. (Lihat : Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, New York: Russell Sage Foundation, 1975).
Sistem hukum Islam tersebut, dengan penegakan hukum yang disertai dakwah fikriyyah (misalnya lewat durusul masajid, sistem pendidikan Islam formal, media massa, social media, dsb) yang dilakukan kepada masyarakat, kami yakini akan mampu memberantas judi tidak hanya gejala penyakitnya, tapi juga sumber penyakitnya yang terdalam. Jadi, sistem hukum Islam itu tidak hanya menindak tegas para pemain dan bandar judi online, dengan menangkap dan menyeret mereka ke peradilan syariah, serta memberi sanksi pidana syariah yang tegas dan terukur bagi mereka, tetapi juga akan memberantas paham-paham pendukung judi itu hingga ke akar-akarnya, yaitu memberantas paham-paham dari Barat yang kafir, seperti utilitarianisme dan hedonisme yang bercokol dalam pikiran dan jiwa umat Islam.
Yogyakarta, 3 Juli 2024
Muhammad Shiddiq Al-Jawi
JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengungkapkan, pemerintah bakal menyiapkan sanksi bagi aparatur sipil negara (ASN) yang terpapar judi online.
Tito mengatakan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan membahas bentuk sanksi tersebut dengan sejumlah pemangku kepentingan, salah satunya adalah Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB).
"Nanti saya minta Setjen duduk bersama kira-kira sanksi apa diberikan sesuai aturan UU untuk memberikan efek jera," kata Tito di Kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, Rabu (19/6/2024).
Tito menuturkan, sejauh ini belum ada komunikasi di antara pemangku kepentingan untuk membahas sanksi yang bakal dijatuhkan kepada ASN terpapar judi online.
Baca juga: Maraknya Judi “Online”: Di Antara Gagalnya Program Kesejahteraan dan Penegakan Hukum
Namun, ia menekankan bahwa komunikasi itu diperlukan karena Kemenpan-RB adalah instansi pemerintah pusat yang mengurusi ASN.
"Kalau bicara ASN ini kan bukan hanya Mendagri, Mendagri ini hubungannya terutama ASN di daerah. Kalau ASN di tingkat pusat, Mendagri enggak terkait. Perlu dibicarakan dengan Kemenpan-RB, BKN dengan KASN yang independen, itu harus duduk bersama," tutur dia.
Sebelumnya diberitakan, kasus judi online makin mengakar di sebagian kalangan masyarakat menimbulkan dampak ikutan yang merugikan.
Sejumlah kasus pun viral di media sosial, termasuk ketika seorang polisi wanita (polwan) membakar suaminya akibat ketagihan judi online. Peristiwa itu terjadi di Kompleks Asrama Polisi Polres Mojokerto, Jawa Timur (Jatim), pada Sabtu (8/6/2024).
Polwan berinisial FN itu tega membakar suaminya sendiri setelah ia mengetahui rekening bank milik suami yang berisi gaji ke-13 senilai Rp 2.800.000 berkurang menjadi Rp 800.000 karena digunakan untuk berjudi.
Baca juga: Perang Bersama Melawan Judi Online
Presiden Joko Widodo menegaskan agar masyarakat tidak menggunakan uang untuk berjudi.
Ia menyebutkan, uang yang dimiliki sebaiknya ditabung ketimbang dipakai untuk berjudi yang bakal menyengsarakan keluarga.
Jokowi mengatakan, judi tidak hanya mempertaruhkan uang atau sekadar permainan iseng-iseng berhadiah.
Ia menegaskan, judi juga mempertaruhkan masa depan, baik masa depan, diri-sendiri, masa depan keluarga, dan masa depan anak-anak.
"Oleh karenanya, saya mengajak seluruh tokoh agama, tokoh masyarakat, masyarakat luas untuk saling mengingatkan, saling mengawasi, dan juga melaporkan jika ada indikasi tindakan judi online," kata Jokowi beberapa waktu lalu.
Pencemaran nama baik seperti diatur dalam Pasal 433 Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 atau yang lebih dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP Baru, menerangkan tentang perbuatan yang menyerang kehormatan atau nama baik seseorang agar hal tersebut diketahui secara umum.
Sementara jika perbuatan pencemaran nama baik itu dilakukan melalui media sosial secara khusus perbuatan itu diatur Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal ini melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Menurut R. Soesilo pada buku KUHP serta komentarnya menjelaskan enam bentuk hukum pencemaran nama baik, yaitu;
Seseorang dianggap melakukan fitnah apabila melakukan penghinaan nama baik, namun tidak dapat membuktikan kebenarannya atau apa yang dituduhkan terdakwa ternyata tidak benar. Hal ini sebagaimana diatur Pasal 434 ayat (1) UU 11/2023.
Penistaan adalah pencemaran nama baik berupa penghinaan dengan cara menistakan atau menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu dengan maksud agar tuduhan tersebut tersiar. Namun tuduhan itu tidak harus perbuatan pidana, dapat juga suatu bentuk perbuatan yang memalukan (Pasal 156 KUHP).
Penistaan ini dilakukan melalui media gambar, surat atau dibuat secara tertulis (Pasal 310 ayat (2) KUHP).
Penghinaan ringan dapat diartikan berupa ujaran makian yang bersifat menghina. Selain itu, penghinaan ringan dapat berupa perbuatan misalnya meludahi wajah, memegang kepala, atau perbuatan penganiayaan yang sifatnya ringan (Pasal 353 dan Pasal 356 KUHP).
Perbuatan ini dapat diartikan diartikan sebagai pemberitahuan palsu kepada penguasa terkait seseorang yang menyebabkan kehormatan atau nama baiknya terserang (Pasal 311 ayat (1) KUHP).
Bentuk terakhir adalah tuduhan secara memfitnah, artinya orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan orang lain terlibat dalam suatu tindak pidana secara tidak benar. Contoh, menaruh barang hasil kejahatan secara diam-diam ke dalam rumah orang lain agar orang tersebut dituduh (Pasal 311 KUHP).
Baca juga: Bentuk dan Unsur Pidana Penganiayaan Ringan
Pelaku perbuatan pencemaran nama baik melalui media sosial dapat dijerat Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Pasal ini menyatakan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau penghinaan nama baik.
Pasal di atas mengacu pada ketentuan penghinaan nama baik dan/atau fitnah sebagaimana diatur dalam KUHP. Adapun ancaman hukuman pencemaran nama baik, pelaku dapat dijerat pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau denda penghinaan nama baik paling banyak Rp750 juta.
Baca juga: Hukum Pidana Islam Sebagai Sistem Hukum di Indonesia
Perbuatan penghinaan nama baik atau penghinaan bisa berdampak buruk terhadap reputasi atau citra seseorang. Seseorang yang dicitrakan buruk tentunya akan memberikan pengaruh negatif terhadap kehidupannya. Pengaruh ini bukan saja terhadap reputasinya, tapi juga berdampak terhadap ekonomi, sosial, dan pergaulan di masyarakat.
Dampak negatif ini juga dapat dirasakan di lingkungan tempatnya bekerja, seperti dianggap tidak layak menempati suatu jabatan tertentu, gagal mendapatkan promosi jabatan, bahkan kehilangan profesinya, misalnya dokter.
Baca juga: Unsur dan Jenis Tindak Pidana Penggelapan
Perbuatan penghinaan nama baik merupakan perbuatan yang dilarang. Terdapat sejumlah undang-undang yang melarang dan memberikan sanksi terhadap pelaku perbuatan penghinaan nama baik, seperti Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 (KUHP) Baru dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang UU ITE, serta peraturan perundang-undangan lainnya.
Soesilo dalam bukunya tentang KUHP serta komentarnya menjelaskan enam bentuk hukum pencemaran nama baik, yaitu fitnah, penistaan, penistaan dengan surat, penghinaan ringan, pengaduan fitnah, dan tuduhan secara memfitnah.
Perbuatan penghinaan nama baik bisa berdampak buruk terhadap reputasi atau citra seseorang dan memberikan pengaruh negatif terhadap kehidupannya. Dampak negatif ini juga dapat dirasakan di lingkungan tempatnya bekerja, seperti dianggap tidak layak menempati suatu jabatan tertentu, gagal mendapatkan promosi jabatan, bahkan kehilangan profesinya.
Baca Juga: Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Perjudian Menurut Hukum Indonesia
Pasal 303 bis ayat (1) KUHP, berbunyi:
1) Diancam dengan kurungan paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak sepuluh juta rupiah:
barangsiapa menggunakan kesempatan untuk main judi, yang diadakan dengan melanggar peraturan pasal 303;
barangsiapa ikut serta permainan judi yang diadakan di jalan umum atau di pinggirnya maupun di tempat yang dapat dimasuki oleh khalayak umum, kecuali jika untuk mengadakan itu, ada izin dari penguasa yang berwenang.
Sementara itu mengenai perjudian online diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UU ITE yang berbunyi:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.
Ancaman terhadap pelanggaran ini diatur dalam Pasal 45 ayat (2) UU 19/2016, yakni:
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Prosedur Penangkapan Menurut KUHAP
Terkait dengan penangkapan yang dilakukan oleh pihak kepolisian, maka terdapat beberapa hal yang mendasari penangkapan dilakukan oleh aparat kepolisian. Pihak kepolisian dalam hal terdapat bukti permulaan yang cukup, memiliki kewenangan untuk melakukan penangkapan. Hal tersebut diatur dalam
Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Namun, dalam melakukan penangkapan terdapat prosedur yang harus dijalankan yang diatur dalam Pasal 18 KUHAP yang berbunyi:
Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.
Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
Prosedur penangkapan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam hal ini telah benar apabila prosedur sebagaimana yang telah disebutkan dalam Pasal 18 KUHAP di atas telah dijalankan.
Menjawab pertanyaan Anda selanjutnya, yaitu mengenai bantuan hukum atau referensi pengacara. Bila memang saudara Anda tidak mampu secara finansial, Anda bisa meminta bantuan hukum kepada lembaga-lembaga bantuan hukum yang ada di daerah Anda. Namun, pada dasarnya seorang advokat dalam menentukan besarnya honorarium advokat wajib untuk mempertimbangkan kemampuan klien, sebagaimana yang disebutkan dalam
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.