Film Rumah Tanpa Jendela

Film Rumah Tanpa Jendela

Merindukan kehadiran film untuk anak-anak?

Kangen dengan film musikal?

Ingin menonton film bertema sosial namun ringan dan menyenangkan?

Penasaran dengan film tentang anak special need yang begitu menyentuh tanpa menggurui?

Nonton film sambil berderma? Kok bisa?

Aneka pertanyaan di atas ternyata mampu dijawab oleh kehadiran sebuah film yang berjudul Rumah Tanpa Jendela. Bersyukur saya dan teman-teman MataSinema diberi kesempatan untuk hadir dalam pemutaran perdana film ini Kamis lalu (03/02/2011) di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail (PPHUI) Rasuna Said, Jakarta Selatan. Thanks to Mbak Asma Nadia yang begitu welcome kepada kami. Nggak cuma Mbak Asma Nadia, ternyata Mas Aditya Gumay selaku sutradara sekaligus penulis skenario dan Mas Adenin Adlan (produser dan penulis skenario) juga begitu ramah dan berkenan ngobrol-ngobrol dengan kami. Oh ya nggak lupa ada Mbak Genta Windi. Mbak yang satu ini sejak semula aktif ngetwit dengan kami. Dia ini juga nggak kalah ramah lho. Semua kru dan personal film ini begitu hangat dan bersahabat (cozy) .

Film ini berdurasi 100 menit, terasa pas untuk sebuah tontonan keluarga karena nggak terlalu lama dan juga tidak terlalu sebentar. Hari itu dilakukan 2 kali pemutara film dan Alhamdulillah kami kebagian menonton pada penayangan perdana pada sekitar pukul 13.00 WIB.

Hampir seluruh pendukung film ini hadir, seperti Dwi Tasya, Emir Mahira, Raffi Ahmad, Yuni Shara, Atie Kanser, Varissa Camelia, Billy Davidson, Ouzan Ruz dan Indra Bekti. Acara hari itu diakhiri denga press conference, karenanya tidak heran begitu banyak wartawan yang hadir.

Komentar positif pun bermunculan dari kalangan wartawan. Memang patut diakui film ini sangat berbeda. Selain seluruh keuntungan film ini didedikasikan bagi penderita autis kurang mampu di tanah air, film ini juga sarat dengan nilai-nilai positif dengan kemasan yang sangat menghibur.

Alam pikir seorang anak terkadang sulit kita pahami karena kesederhanaannya. Rara (Dwi Tasya) adalah seorang anak yang kurang beruntung secara ekonomi dan ia memiliki sebuah cita-cita yang amat sangat sederhana yaitu memiliki jendela di rumahnya. Sederhana banget ya (thinking) .

Namun keinginan sederhana ini menjadi terlalu mewah bagi Rara karena dia, ayah (Raffi Ahmad), dan neneknya (Ingrid Wijanarko) hanyalah tinggal dalam sebuah rumah berdinding kayu yang cukup untuk tidur saja. Itu pun masih disertai dengan ancaman penggusuran yang bisa terjadi setiap saat.

Di lain pihak ada Aldo (Emir Mahira) seorang anak yang termasuk special needs karena mengidap autis ringan. Aldo hidup dalam keluarga yang serba berkecukupan bahkan terbilang berlebih. Karena kondisinya yang memang khususl ini Aldo kerap kali dianggap sebagai hal yang patut disembunyikan memalukan oleh keluarganya, terutama kakak perempuannya (Maudy Ayunda).

Aldo dan Rara pun dipertemukan dalam sebuah kejadian yang membuat keduanya akhirnya menjadi sahabat. Persahabatan yang tak mengenal kasta ekonomi ini berlangsung dengan begitu indahnya. Rara merasa begitu beruntung dapat melihat rumah indah berjendela banyak milik Aldo, demikian juga dengan Aldo yang merasa akhirnya ia bisa diterima apa adanya oleh Rara dan teman-temannya. Banyak pelajaran dan nilai yang dapat kita tangkap dalam penggambaran persahabatan keduanya tanpa terasa dipaksakan karena mengalir dalam cerita yang begitu natural dan nyaman dinikmati (scenic) .

Beberapa adegan mengharukan dapat kita jumpai di film ini. Walaupun pemain tidak melulu berurai airmata dalam adegan-adegannya namun saya sebagai penonton beberapa kali harus mengambil tissue untuk mengeringkan mata yang tiba-tiba basah (tears) .

Sebagai film musikal tentu saja banyak keceriaan yang dihadirkan dalam film ini melalui kehadiran lagu-lagu. Ini pun ditampilkan dengan apik dan cukup menarik (banana_cool) .

Sejak awal kehadiran Emir Mahira dalam film ini begitu memukau saya. Dia begitu ciamik memerankan tokoh Aldo yang menderita autis. Gerak tubuh hingga gaya bicaranya begitu natural dan menyentuh. Emir tampak benar-benar mempersiapkan diri memerankan ini secara matang. Salut untuk Emir, moga menjadi bintang di masa depan ya (rock) .

Tokoh Rara yang menjadi benang merah cerita film ini juga diperankan secara apik oleh Dwi Tasya. Terlihat Tasya sangat memahami dan mendalami karakter Rara dengan sangat baik dan natural. Ini luar biasa bagi seorang anak pendatang baru di dunia film.

Maudy Ayunda dan Ouzan Ruz yang berperan sebagai kakak dan abang Aldo juga cukup baik dalam membawakan peran mereka. Nah nggak lupa salah satu tokoh senior perfilman Indonesia kita yaitu Atie Kanser juga main lho di sini. Berperan sebagai nenek Aldo beliau mampu membuat film ini begitu hidup dan enak dinikmat. Bunda Atie begitu sukses menunjukkan diri sebagai nenek yang begitu pengasih kepada cucunya, sekalipun Aldo memiliki kekurangan (worship) .

Yang membuat film ini cukup heboh sebenarnya adalah kehadiran pasangan Raffi Ahmad dan Yuni Shara. Awalnya terus terang saya pribadi sudah under estimate terhadap kehadiran 2 pemain ini. Namun syukurlah keduanya mampu tampil dalam film ini dengan cukup baik. Raffi cukup memikat dalam memerankan ayah Rara, walaupun secara penampilan ia sebenarnya kurang pas menjadi sosok miskin yang berprofesi sebagai penjual ikan hias, namun Raffi membuktikan bahwa ia sungguh-sungguh mampu menghadirkan sang ayah dengan baik dalam film ini. Yuni yang hanya tampil dalam beberapa scene juga tidak terlalu mengecewakan, bahkan terbilang cukup baik memerankan diri sebagai bude (tante) Rara.

Sanggar Ananda dan Teater Kawula Muda asuhan mas Aditya Gumay sangat memperkuat nafas film ini. Tak dipungkiri mereka mampu menghidupkan atmosfer alami dalam film ini.

Sebagai film musikal Aditya Gumay tidak main-main dalam mempersiapkan film ini. Sederetan lagu ia siapkan untuk menghidupkan adegan-adegan dalam film ini. Lagu yang ditampilkan pun nyaman untuk dinikmati sekali pun baru pertama kali mendengar.

Namun sederetan lagu yang tampil kebanyakan dinyanyikan secara bersama. Coba jika ada lead vocalnya, pasti akan lebih menarik lagi hehehe. Teringat Sherina dalam Petualangan Sherinanya (goodluck)

Tata gambar cukup nyaman dan enak untuk dinikmati. Namun masih ada beberapa sudut pengambilan gambar yang terasa kurang pas, semisal pada adegan bernyanyi ketika hujan, alangkah indahnya jika gambar lebih banyak diambil dari atas yang menunjukkan indahnya warna-warni payung.

Beberapa adegan indoor kesan sinetronnya masih ada. Hmm saya bingung mau ngomongnya tapi mungkin perlu sedikit kreatifitas sudut pengambilan gambar atau tata cahaya sehingga kesan sinetron tersebut bisa diminimalisir (goodluck) .

NONTON SAMBIL SEDEKAH?

Film ini memang terbilang unik karena ternyata tidak memiliki tujuan komersil. Sepenuhnya (100%) penghasilan film ini didedikasikan untuk membantu anak-anak autis (specil needs) yang kurang mampu. Direktur utama Dompet Dhuafa sepenuhnya mendukung film ini antara lain dalam hal promosi.

Walaupun bertujuan sosial jangan pernah meragukan kualitas film ini. Anda bisa saksikan sendiri film ini yang digarap secara begitu piawai oleh sutradara idealis bertangan dingin Aditya Gumay. Setidaknya kita tentu masih ingat dengan Film Emak Ingin Naik Haji garapan sutradara yang sama dan berhasil menyabet banyak penghargaan dalam festival film Bandung dan Festival Film Indonesia.

Lebih detail mengenai ini dapat dilihat di http://proposalfilmrtj.blogspot.com

DUET IDEALIS ASMA NADIA-ADITYA GUMAY

Film ini merupakan kali kedua kerjasama antara Asma Nadia dan Aditya Gumay. Sebelumnya Film Emak Ingin Naik Haji pun sedemikian memukau para pecinta film di tanah air. Tema sederhana dan sangat dekat  dengan keseharian kita merupakan salah satu keunggulan duet ini. Ketika kita menikmati karya mereka berdua seakan memang ada kita di sana, di antara para pemain dan hiruk pikuk cerita dalam film mereka. Inilah yang mungkin acapkali dilupakan sineas kita yang lain.

“Begitu banyak sutradara yang mampu untuk membuat film yang bagus, tapi hanya sedikit yang mampu membuat film bernilai. Dan diantara yang sedikit itu adalah Aditya Gumay”. Ujar Mba Asma Nadia yang begitu terkesan akan idealisme seorang Aditya Gumay.

“Film dan novel adalah dua hal yang berbeda. Dan Aditya Gumay mampu membawa ‘semangat’ yang ada dalam novel ke dalam sebuah film dengan begitu baik. Saya merasa sangat puas dengan hasil filmnya”. Mba Asma menambahkan.

STRONGLY RECOMMENDED TO WATCH

Jangan pernah takut dan berhenti bermimpi. Bukalah mata hati dan pikiranmu sebagaimana jendela yang terbuka. Bersyukur atas segala yang kita miliki. Persahabatan mampu melampaui batas-batas ekonomi dan bahkan cacat atau tidaknya seseorang. Itulah antara lain sedikit dari begitu banyak nilai-nilai yang tersaji dalam ramuan Film Rumah Tanpa jendela ini. Banyak bekal yang bisa dibawa pulang memenuhi rongga nurani kita yang cenderung kering akan kepedulian sosial.

Film ini begitu indah dan bermakna untuk kita lewatkan begitu saja. Saya meyakini dibalik niat mulia dalam pembuatan ini yang ditujukan untuk kegiatan sosial ada begitu banyak berkah yang akan terus mengalir khususnya bagi dunia perfilman Indonesia yang sangat haus akan nilai-nilai kebaikan. Semoga…

http://proposalfilmrtj.blogspot.com

http://a4.sphotos.ak.fbcdn.net

http://a2.sphotos.ak.fbcdn.net

http://a3.sphotos.ak.fbcdn.net

Penerbit Jakarta : Republika Penerbit, 2020

Deskripsi Fisik vi, 215 hlm. ; 20,5 cm

Subjek Fiksi Indonesia / Novel

Bahasa Indonesia

Call Number 813 ASM r ; 899.2213 NAD r

Asma Nadia dikenal sebagai salah satu penulis best seller paling produktif di Indonesia. Sudah 56 bukunya diterbitkan dalam bentuk novel, kumpulan cerpen, dan nonfiksi, selain puluhah antologi bersama.

Berbagai penghargaan di bidang penulisan diraihnya. Derai Sunyi terpilih sebagai novel terpuji Majelis Sastra Asia Tenggara 2005. Istana Kedua (Surga yang Tak Dirindukan) terpilih sebagai novel terbaik IBF 2008. Cerpennya terpilih sebagai cerpen terbaik majalah Annida, 1994-1995. Naskah drama Preh terpilih sebagai naskah terbaik Lokakarya Perempuan Penulis Naskah Drama yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan FIB.

Rembulan di Mata Ibu mendapat penghargaan buku remaja terbaik, 2001. Ia juga mendapat Anugerah Adikarya IKAPI sebagai pemenang Pengarang Fiksi Remaja Terbaik, 2001, 2002, dan 2005. Pada 2011, Asma Nadia dinobatkan sebagai tokoh Perbukuan Islam IKAPI.

Surga yang Tak Dirindukan (SYTD) menjadi film terlaris tahun 2015 dan meraih dua penghargaan di Festival Film Bandung 2015 serta enam penghargaan dalam Indonesia Box Office Movie Awards (IBOMA), dengan salah satu kategori Film Box Office Terlaris.

Assalamualaikum Beijing masuk dalam top 10 film terlaris 2014 dan diputar di Okinawa International Film Festival, Jepang, 2015. Umi Aminah (diadaptasi dari 17 Catatan Hati Ummi) tercatat sebagai salah satu film religius kolosal, 2012. Rumah Tanpa Jendela mengantarkan pemeran utamanya meraih penghargaan Piala Citra. Emak Ingin Naik Haji meraih lima penghargaan di Festival Film Bandung 2009 dan diputar pada festival film di International Writing Program, Iowa, Amerika.

Pada tahun 2016, tiga karyanya telah difilmkan. Pesantren Impian, Jilbab Traveler–Love Sparks in Korea, lalu menyusul Cinta Laki-laki Biasa. Tahun 2017, film Surga yang Tak Dirindukan 2 diangkat ke layar lebar, dan tayang di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Sementara novel Cinta Dua Kodi adaptasi filmnya dirilis awal tahun 2018.

Beberapa karya Tokoh Perubahan Republika 2010 ini yang diangkat dalam Film Televisi (FTV) dan diadaptasi ke dalam sinetron, yaitu Aisyah Putri–Jilbab in Love, Catatan Hati Seorang Istri (CHSI), Sakinah Bersamamu, dan Catatan Hati Seorang Istri Season 2.

Asma Nadia, bersama sang suami, Isa Alamsyah, juga membangun grup Komunitas Bisa Menulis (KBM) yang kini beranggotakan lebih dari 417.000 orang.

Bukan besarnya rumah atau luas halaman dari balik pagar rendah yang memesona Rara, melainkan jajaran pot-pot cantik yang ditaruh di depan jendela-jendela besar rumah tersebut. Belum pernah Rara melihat jendela sedemikian indah. Mulai hari itu, ia punya sesuatu untuk diimpikan. Bapak dan Ibu harus tahu. *** Rara adalah gadis yang periang dan suka bermain. Ia dan teman-temannya suka bermain di pinggir-pinggir jalan saat istirahat mengamen, di bawah derasnya hujan, juga di pekuburan tengah kota Jakarta yang menjadi lingkungan tempat tinggalnya. Sebagai gadis kecil, ia merasa tak kekurangan apa pun, apalagi orangtuanya tak pernah memarahinya seperti ibu-bapak teman-temannya. Tapi ada satu mimpi Rara yang ingin sekali ia wujudkan. Sebuah mimpi sederhana, untuk memiliki jendela. Ia ingin sekali bisa tetap melihat hujan, dan tak harus menyalakan lampu ketika siang meski pintunya ditutup. Namun Rara tak tahu, keinginan sederhananya diam-diam membuat pusing orang-orang terdekatnya hingga gadis kecil itu harus membayar mahal agar mimpinya terwujud.

Sinopsis Singkat: Rara adalah anak yang tinggal di lingkungan kumuh yang sangat ingin punya sebuah jendela di rumah kecilnya. Namun kedua orang tuanya tidak mampu untuk membelikan jendela yang diinginkan. Pertemuannya dengan Aldo anak orang kaya yang mempunyai keterbelakangan menjadikan kisah ini menyentuh di hati. Sinopsis Lengkap: Rara (Dwi Tasya), 8 tahun, sangat ingin punya jendela di rumahnya yang kecil berdinding tripleks bekas di sebuah perkampungan kumuh tempat para pemulung tinggal di Menteng Pulo, Jakarta. Si Mbok (Ingrid Widjanarko), nenek Rara yang sakit-sakitan dan ayahnya Raga (Rafi Ahmad) yang berjualan ikan hias dan tukang sol sepatu, tidak cukup punya uang untuk membuat atau membeli bahkan hanya selembar daun jendela dan kusennya. Rara juga punya Bude, Asih (Yuni Shara).Bersama teman-temannya sesama anak pemulung, sebelum ngamen atau ngojek payung jika hari sedang hujan, Rara bersekolah khusus untuk anak jalanan. Bu Alya (Varissa Camelia) satu-satunya pengajar sukarelawan yang membimbing dan membina anak-anak pemulung tersebut.Di perumahan mewah Jakarta, Aldo (Emir Mahira), 11 tahun, yang sedikit terbelakang, merindukan seorang teman di tengah keluarganya yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Ia anak bungsu dari pengusaha sukses, Pak Syahri (Aswin Fabanyo) dan Nyonya Ratna (Alicia Djohar). Kehadiran Nek Aisyah (Atie Kanser), ibu Pak Syahri, menjadi penghiburan untuk Aldo. Suatu hari, Aldo berkenalan dengan Rara yang saat itu tengah mengojek payung dan terserempet mobil Aldo. Sejak itu mereka menjadi akrab.Di rumah Aldo semua panik karena karena Aldo minggat dari rumah, kecewa dengan sikap kakaknya yang terang-terangan mengatakan merasa malu memiliki adik seperti dirinya. Berbagai peristiwa yang mengejutkan dan menyentuh bergulir bersama kisah persahabatan Rara dan Aldo. Negara & Tanggal Rilis: Indonesia, 24 Februari 2011 Klasifikasi: SU Bahasa: Bahasa Indonesia Warna: Berwarna Status: Selesai / Rilis

Rumah tanpa Jendela adalah film musikal Indonesia 2011 yang diangkat dari cerita pendek karya Asma Nadia berjudul Jendela Rara. Film ini disutradarai oleh Aditya Gumay dan diproduseri oleh Kak Seto serta dibintangi oleh Emir Mahira dan Dwi Tasya.

Film ini dirilis di bioskop pada 24 Februari 2011.

Berkat kemampuan aktingnya di film ini, Emir Mahira yang kala itu berusia 14 tahun berhasil mendapatkan Piala Citra untuk kategori Pemeran Utama Pria Terbaik di Festival Film Indonesia 2011. Hal ini mengulang kemenangan Albert Fakdawer yang berhasil memenangkan kategori yang sama di usia 13 tahun.

Rara (Dwi Tasya) gadis kecil berusia 8 tahun, sangat ingin punya jendela di rumahnya yang kecil berdinding tripleks bekas di sebuah perkampungan kumuh tempat para pemulung tinggal di Menteng Pulo, Jakarta.

Si Mbok (Inggrid Widjanarko), neneknya Rara yang sakit-sakitan dan ayahnya, Raga (Raffi Ahmad) yang berjualan ikan hias dan tukang sol sepatu, tidak cukup punya uang untuk membuat atau membeli bahkan hanya selembar daun jendela dan kusennya saja. Rara juga punya Bude, yaitu Bude Asih.(Yuni Shara)

Bersama teman-temannya sesama anak pemulung, sebelum ngamen atau ngojek payung jika hari sedang hujan, Rara sekolah di tempat sederhana khusus untuk anak jalanan. Bu Alya (Varissa Camelia) satu-satunya pengajar sukarelawan disitu yang membimbing dan membina anak-anak pemulung tersebut.

Di tempat lain, di perumahan mewah kota Jakarta – adalah Aldo (Emir Mahira) anak lelaki berusia 11 tahun yang sedikit terbelakang, merindukan seorang teman di tengah keluarganya yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Ia anak bungsu dari pengusaha sukses, Pak Syahri (Aswin Fabanyo) dan Nyonya Ratna (Alicia Djohar). Kehadiran Nek Aisyah (Aty Cancer Zein) – Ibu Pak Syahri menjadi penghiburan untuk Aldo. Nek Aisyah sangat menyayanginya.

Suatu hari, Aldo berkenalan dengan Rara yang saat itu tengah mengojek payung dan terserempet mobil Aldo. Sejak itu mereka menjadi akrab. Perkampungan kumuh tempat Rara tinggal terjadi kebakaran, sementara di rumah Aldo semua panik karena Aldo pergi dari rumah, kecewa dengan sikap kakaknya yang terang-terangan mengatakan merasa malu memiliki adik seperti dirinya.

Apa yang terjadi dengan hidup Rara selanjutnya ? Bagaimana persahabatannya dengan Aldo? Apakah Rara dapat mewujudkan mimpi memiliki jendela di rumahnya? Bagaimana juga dengan nasib Simbok dan Bude Asih?

Berbagai peristiwa yang mengejutkan dan menyentuh bergulir bersama kisah persahabatan Rara dan Aldo.[1]

Hayya 2: Hope, Dream & Reality|2022|

Kompleks Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Gedung E Lantai 8, Jl. Jendral Sudirman, Jakarta 10270

Anda mungkin ingin melihat